Dalam teori kebudayaan C.A Van Peursen, perkembangan budaya manusia
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu mitis, ontologis, dan fungsionalis.
C.A van Peursen (1976) mengajukan
bahwa kebudayaan terdiri dari tiga dimensi yaitu mitis, ontologis, dan
fungsional. Dalam dimensi mitis, relasi manusia dengan lingkungannya bersifat
terbuka. Pada dimensi ontologis, relasi manusia dengan lingkungannya bersifat
tertutup. Dan pada dimensi fungsional, relasi manusia dengan lingkungan
bersifat partisipatif.
Dimensi mitis ditandai oleh
manusia yang merasa dirinya dikelilingi oleh gaya tak terlihat disekitarnya.
Dimensi mitis disebut juga pandangan ekosentris dimana manusia berintegrasi
dengan alam dan dikendalikan oleh alam.
Dimensi ontologis ditandai oleh
manusia yang tidak lagi hidup dalam kekuasaan mitis namun bebas untuk memeriksa
apapun. Dimensi ontologis disebut juga pandangan antroposentris dimana manusia
bersifat asertif dan mengendalikan alam.
Dimensi fungsional ditandai oleh
sikap dan kondisi pikiran yang tidak lagi terkesan dengan sekitarnya, tidak
lagi mengambil jarak dengan objek, namun ia ingin membentuk hubungan terhadap
segala hal dalam lingkungannya. Dimensi ini diidentifikasi sebagai kebudayaan
modern.
Tahap Mitis
Manusia
menganggap bahwa dirinya adalah bagian dari alam. Manusia merasa bahwa dirinya
berada di dalam dan dipengaruhi oleh alam. Hal ini dapat dilihat budaya Indian.
Mereka sering menganggap bahwa diri mereka adalah penjelmaan dari hewan di
sekitarnya. Pada tahap ini, manusia kerap memberikan kurban atau sesaji sebagai
bentuk penghormatannya kepada alam. Manusia juga membuat norma-norma perlakuan
terhadap alam. Sehingga hidupnya selalu selaras dengan alam dan dilindungi oleh
alam itu sendiri.
Tahap Ontologis
Manusia
mulai mengenal agama. Manusia tidak lagi memberikan kurban dan memandang bahwa
alam merupakan sama-sama makhluk Tuhan yang harus dijaga kelestariannya.
Meskipun begitu, manusia sudah mulai menjadikan alam sebagai objek yang bisa
dipergunakan untuk mempertahankan hidupnya.
Tahap Fungsionalis
Manusia
sudah jauh dari alam. Bahkan, alam tidak hanya sekedar dijadikan objek, tetapi
telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya nyaman. Tahap
ini ditandai dengan revolusi industri di dunia dan manusia memperlakukan alam
dengan mengeksplorasinya secara berlebihan.
Kaitannya
dengan kondisi masyarakat pada saat ini
Tahap mitis ialah sikap manusia
yang merasakan dirinya selalu terkait bahkan tergantung dengan
kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya yang di kalangan masyarakat primitif
disimbolkan dalam mitologi-mitologi , misalnya Nyai Rara Kidul dan Ratu Adil.
Pola pikir semacam ini tidak hanya berlaku dalam masyarakat primitif karena
dalam masyarakat modernpun tidak sepenuhnya hilang. Impliklasi pola pikir
semacam ini dalam masyarakat Islam tampak dalam cara memahami , menghayati dan
mengamalkan agama cenderung dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang timbul
sebagai dampak dari pengamalan agamanya . Misalnya pemahaman terhadap Hadits
Nabi yang menganjurkan kita untuk mengelus-elus kepala anak yatim pada hari
raya “ . Hadis ini difahamai secara harfiah , maka banyak kalangan masyarakat
kita yang pada hari raya mengelus-elus kepala anak yatim , bahkan secara ektrim
mengumpulkan anak yatim , di mana semakin banyak semakin banyak pula pahalanya
dan membawa berkah , padahal maksud Hadits tersebut ialah anjuran menyayangi dan
membantu anak yatim agar jangan sampai hidupnya terlantar. Contoh lain ialah
penggunaan ayat-ayat Al-Quran sebagai jimat dan penonjolan kisah-kisah
kekeramatan dan kesaktian para wali juga merupakan bagian dari pola pikir mitis
ini.
Tahap ontologis ialah sikap
manusia yang sudah mampu melepaskan diri dari ikatan mitologis dan secara bebas
ingin meneliti segala hal ikhwal yang ada di sekitarnya dengan akal budinya.
Dengan sikap ontolologis ini manusia berusaha menampakkan Yang Transenden (
Tuhan ) dan menjadikannya sesuatu yang dimengerti . Dalam masyarakat Islam
jalan untuk menuju pengertian ini ( makrifat ) dipandang sebagai bentuk
pengakuan ( keimanan ) dan ibadah kepada Nya. Dengan pola pemikiran ontologis
ini menghasilkan bermacam-macam ilmu agama ( Tauhid, Fikih, Tafsir , Hadits ,
dan Tasauf , dsb.)
Tahap fungsional ialah pemikiran
yang menyangkut hubungan dan relasi yang bersifat fungsional . Segala yang ada
diukur dari nilai fungsionalnya, di mana hal ini merupakan ciri masyarakat
modern . Implikasi pola pemikirran ini dalam kehidupan beragama ialah memandang
agama dari segi fungsinya sesuai dengan kebutuhan manusia. Dalam masyarakat
modern yang menjadi masalah ialah bagaimana agama ( Islam ) dapat memenuhi
tuntutan masyarakat modern , sehingga ia tetap fungsional dan dibutuhkan. Di
sinilah perlunya mengoptimlakan fungsi tajdid dan ijtihad yang hakekatnya
merupakan kekuatan internal bagi Islam untuk tetap eksis sebagai kekuatan moral
dalam menghadapi berbagai perubahan sosial.
Jadi teori perkembangan kebudayaan
dari C. A van Peursen masih relevan dengan kondisi masyarakat pada saat ini
baik mulai pada tahap mistis, ontologis, maupun pada tahap fungsionalis
Contohnya Peristiwa BENCANA ALAM.
Jika diamati, ada berbagai model dalam merespons peristiwa bencana alam ini.
Dengan meminjam teori CA van peursen tentang tiga tahapan perkembangan
kebudayaan sebuah masyarakat,yaitu mitis,ontologis, dan fungsional, maka ketiga
model ini pun sepertinya dapat dipakai untuk menjelaskan sikap masyarakat dalam
melihat bagaimana hubungan antara manusia dan alam semesta. Dalam cara pandang
mitis, hubungan antara manusia dan alam tidak setara.
Manusia dalam posisi tidak
berdaya di hadapan alam. Alam sedemikian perkasa dan misterius karena dia
memiliki roh para dewa sehingga manusia harus pandai-pandai berdamai dan
membujuknya agar alam tidak marah oleh ulah manusia. Model berpikir mitis ini
sudah dipercayai pada masyarakat Yunani Kuno di mana alam termasuk gunung,
pepohonan dikuasai oleh Dewi Artemis. Dewi ini juga dianggap pelindung bayi
binatang maupun manusia. Karenanya selama manusia menjaga hubungan baik dengan
dewi ini, alam akan tenang, aman, dan terlindungi.
Setelah melahirkan misalnya,agar
ibu dan bayinya terlindungi dari roh jahat, ditaruhlah berbagai jenis dedaunan
dan pakaian si ibu tersebut dibuang sebagai persembahan untuk Dewi Artemis.
Atau ada lagi festival pada musim semi Thesmophoria untuk meminta agar kekuatan
dewa hadir agar alam menjadi subur sehingga bibit tanaman bisa tumbuh dengan
baik. Bentuk upacara keagamaan yang disertai dengan melepas sesajen ke laut
sebagai ungkapan permohonan dan terima kasih atas ikan-ikan yang telah
ditangkap oleh penduduk sekitarnya atau sesajen ditujukan ke gunung sebagai
tanda terima kasih atas kesuburan yang diberikan; juga sebagai ungkapan
persahabatan dan bujukan agar gunung tidak marah.
Sesungguhnya itu semua adalah
salah satu hasil dari cara berpikir mitis yang mulai muncul sejak zaman dulu.
Model kedua disebut sebagai ontologis di mana nalar atau cara pandang ilmiah
dipergunakan untuk memahami gejala alam. Pada tahap ini, berbeda dengan model
pertama,segala peristiwa alam dijelaskan dengan hukum sebabakibat.
Misalnya, jika pada tahapan mitis
peristiwa banjir selalu dikaitkan dengan kemurkaan alam dan Tuhan, maka dengan
pendekatan ontologis, dengan nalarnya masyarakat memahami bahwa banjir itu
adalah akibat hujan lebat yang tumpahan airnya tidak tertampung dan tidak
tersalurkan oleh sungai-sungai yang ada.
Ketika terjadi peristiwa banjir
kesalahannya lalu diarahkan kepada manusia dan untuk menebus “dosanya” mereka
tidak lagi membuat sesajen (sesaji), tetapi dengan memperbanyak waduk-waduk dan
tempat untuk penampungan serta serapan air. Sungai dan irigasi diperluas dan
tidak lagi membuang sampah ke sungai atau mereka juga menghindari tinggal di
daerah bantaran sungai.
Di sini, posisi manusia dan alam
seakan sejajar, keduanya saling berdialog dan membuka diri, yang satu memahami
yang lain. Dan sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan
adalah melakukan pemahaman dan dialog dengan alam agar manusia lebih mengenal
karakter alam sehingga dapat mengantisipasi reaksi dan akibat dari segala
perilaku manusia terhadap alam. Ini bisa dibuktikan dengan penelitian di bidang
obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Begitu juga terhadap perilaku
gunung, dengan penjelasan nalar dan ilmu pengetahuan, dapat diantisipasi apa
yang sedang terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi pada gunung berapi.
Sinyal untuk mendekati fenomena alam secara ontologis sesungguhnya telah termaktub
dalam wahyu pertama Alquran,yaitu perintah iqra,yaitu perintah untuk membaca.
Membaca juga terkandung di
dalamnya proses penelaahan dan pemahaman tidak hanya terhadap teks tertulis,
melainkan juga teks kawniyyah, ciptaan Tuhan termasuk alam dan seisinya. Selain
itu kalimat dalam Alquran afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berpikir atau
mempergunakan akalmu) juga merupakan sinyal bahwa hendaknya akal atau nalar
dipergunakan sebaik-baiknya dalam membaca dan memahami ayat-ayat-Nya. Adapun
dalam model ketiga, yaitu fungsional,manusia menempati posisi lebih tinggi
dibandingkan alam.
Dalam hubungan ini manusia adalah
pihak yang diberi keleluasaan untuk mendayagunakan alam. Di sinilah fungsi
manusia sebagai khalifah yang memiliki misi untuk mengatur alam.Namun dalam hal
ini Alquran pun sudah memberi rambu-rambu bahwa bila otoritas ini
disalahgunakan, tak pelak lagi akibatnya adalah alam akan rusak (fasad). Dan
sesungguhnya dengan ilmu pengetahuan, manusia seharusnya memiliki kemampuan
mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya yang menzalimi hukum alam.
Bila hutan dijarah secara membabi
buta atau serapan air dirampas oleh tumbuhnya hutan beton, alam akan bereaksi
dalam bentuk longsor,banjir,dan lain-lain. Bagaimanakah respons yang bijak
dalam menanggapi bencana alam ini? Semua bentuk respons, baik yang menyerahkan
hal itu pada kemarahan Tuhan atau akibat terganggunya hukum alam karena ulah
manusia atau yang lain, tentu saja memiliki argumen masingmasing. Salah satu
yang membedakan adalah seberapa besar nalar atau akal berperan dalam memahami
gejala alam yang ada.
Good article.....
BalasHapusMau nanya kak
BalasHapusKalo arti bahwa semakin tinggi nilai suatu budaya maka semakin abstraklah wujud budaya tersebu...
Artinya apa ya kak
Itu kalo gak salah perkataan van peursen (STRATEGI kebudayaan)
Makasih banyak kak, sangat membantu saya mengerjakan tugas saya
BalasHapussekiranya bisa diperhatikan kembali pemahaman atau kaitannya dengan Islam jg contoh dari ketiga tahap diatas. pada bagian akhir, contoh tahap fungsionil misalnya, tidak dipaparkan.
BalasHapusmungkin bisa dikoreksi ttg contoh ontologis di bagian akhir, itu sebenarnya contoh fungsionil. karena fungsionil menitikberatkan pada relasi manusia dan alama. sedangkan ontologis itu menekankan pada "apa", seperti apa yg menyebabkan banjir, dan seterusnya. dimana manusia dan alam berdiri di posisi masing-masing...
Konsep kebudayaan menurut Van peursen bersifat dinamis itu maksudnya apa
BalasHapus